Jumat, 25 September 2015

MAKALAH : Peran Pendidikan Teologi terhadap Budaya Perkawinan Masyarakat Ambon

Peran Pendidikan Teologi terhadap Budaya Perkawinan Masyarakat Ambon

Yohanes Arlindo Fahik


       I.            Pendahuluan

Manusia hidup dalam lingkup kebudayaan, sehingga secara tidak langsung kebudayaan berperan dalam hidup manusia. Setiap pribadi manusia (tingakah laku) mencerminkan kebudayaannya tersendiri, karena manusia dibentuk oleh kebudayaan. Kebudayaan adalah suatu ‘totalitas aktivitas’.[1] Kebudayaan berperan dalam kehidupan sehari-hari dan salah satu aktivitas manusia yang melibatkan kebudayaan adalah perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan merupakan budaya masyarakat yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat dalam kebudayaannya. Setiap kebudayaan mengatur sistem perkawinannya masing-masing, semakin banyak kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat, sistem perkawinannya pun akan berbeda-beda, dan masing-masing memiliki aspek nilai yang harus ditaati dan dipelajari oleh masyarakat.
Dewasa ini, perubahan terjadi dalam kebudayaan masyarakat. Hal ini karena, sistem-sistem ‘religi’[2] yang dianut oleh masyarakat dalam kebudayaannya telah dipengaruhi oleh kehadiran ‘agama’[3] yang secara gamblang diajarkan kepada masyarakat. Untuk itu, agama juga telah berperan dalam kehidupan masyarakat dan turut mempengaruhi sistem kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Agama menjadi suatu realita hidup yang dianut sekaligus diterima dalam aktivitas masyarakat sehari-hari.
Pembicaraan mengenai agama, tidak terlepas dari bidang ilmu yang mempelajarinya dan salah satu bidang khusus yang mempelajari tentang ilmu agama adalah teologi. Teologi merupakan pengetahuan adikodrati yang metodis sitematis, dan koheren tentang apa yang diimani sebagai wahyu Allah.[4]  Kehadiran teologi di sini, untuk menjelaskan kepada masyarakat bagaimana agama itu dipelajari dan diterapkan untuk kehidupan, karena agama itu sendiri menyangkut segala sasuatu yang berkaitan dengan  iman akan Tuhan.                                  Namun, yang menjadi kekhawitiran sekaligus pertanyaan yang kadang-kadang muncul dari pikiran kita adalah bilamana masyarakat melibatkan agama dalam kehidupan mereka? Pentingkah agama berperan dalam hidup masyarakat? Lalu, apa pandangan agama (teologi) itu sendiri mengenai perkawinan? Dari pertanyaan tersebut penulis terdorong untuk menuliskan karya tulis ini dengan topik “Peran Pendidikan Teologi Terhadap Budaya Perkawinan Dalam Masyarakat Ambon”. Dalam tulisan ini, saya ingin mengemumkakan kepada pemabaca sejauh mana masyarakat Ambon melibatkan agama (pendidikan teologi) dalam kebudayaan mereka, terkhusus dalam budaya perkawinan. Tema dalam tulisan ini menarik untuk dibahas, karena penduduk  kepulauan Ambon semuanya adalah para pendatang yang berasal dari berbagai suku atau daerah yang sebagian besar mereka datang dari pulau ‘Seram’.[5]  Mereka yang berasal dari pulau Seram ini, kebanyakan datang dari Selatan bagian tengah dan Barat yaitu, daerah tiga buah aliran sungai Eti, Tala dan Sapalewa, sungai-sungai yang berhulu atau bersumber pada sebuah pohon bringin besar bernama Nunusaku.[6] Masyarakat yang menempati suatu daerah datang dari berbagai suku seperti ini, bagaimana bentuk kebudayaan mereka? Atas dasar argumen itulah saya mencoba menuliskan makalah ini.                                                                                         Pada awal tulisan, saya memulainya dengan pendahuluan yang berisi pengantar dari penulis dan juga sedikit pengantar mengenai situasi sosial-budaya masyarakat Ambon. Lalu  isi, saya sekedar ingin mengahantarkan para pembaca untuk mengetahui tentang peran pendidikan teologi dalam budaya perkawinan Ambon. Penulis ingin memperlihatkan pentingnya kehadiran agama dalam keanekaragaman suku yang disatukan menjadi budaya  tersebut. Selanjutnya bagian terakhir merupakan penutup yang berisi kesimpulan terhadap pembahasan dalam paper ini.

    II.            Latar Belakang Masyarakat Ambon
Sebagai masyarakat yang hidup, pasti memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda. Ambon adalah salah satu himpunan masyarakat yang memiliki keragaman kebudayaan, namun dipandang dari segi positif perbedaan bukanlah suatu agen yang menghantarkan masyarakat menuju perseteruan atau permusahan, melainkan dalam perbedaan itu, bisa dilihat kesamaannya untuk kemudian bisa disatukan menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai kebudayaan. Dengan demikian, suatu budaya terbentuk karena adanya kesamaan yang ditemukan dalam masyarakat. Ambon adalah salah satu kepulauan yang ada di Maluku atau provinsi Maluku. Secara geografis pulau Ambon memiliki beberapa pulau kecil di sekitarnya. Paling Barat dan arah ke Timur  adapulau Haruku, pulau Sapurua dan yang paling Timur pulau Nasulaut. Oleh karena dikelilingi oleh pulau-pulau tersebut, pulau Ambon dikenal sebagai pulau terbesar di kepalauan Maluku, pulau Ambon memiliki luas 761 km2 sedangkan pulau-pulau lain luasnya kurang dari luas pualu Ambon yakni pulau Haruku 289 km2 dan pulau Saparua dan Nusalaut 202km2.[7]                                                                                                     Berdasarkan uraian di atas, walaupun masyarakat Ambon memiliki beberapa pulau yang mengelilinginya, namun sebagai makhluk sosial manusia hidup tidak dalam kesendirian. Setiap manusia hidup berkelompok (kolektif), sehingga dari kelompok-kelompok tersebut terbentuklah suku-suku atau clan-clan yang didasarkan pada keturunan maupun kesatuan wilayah tempat tinggal atapun kesamaan kelompok dalam keluarga. Secara kekeluargaan, masyarakat Ambon menganut sistem kekeluargaan menurut garis kebapaan atau Peternal atau patrilineal. Dalam sistem ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarga ditentukan oleh kerabat bapa.Pemberian marga kepada anak-anak (laki-laki dan perempuan) yang dilahirkan atau seketurunan, harus sesuai dengan marga yang dimiliki oleh bapa. Berkaitan dengan kerturunan, kehadiran anak laki-laki dalam keluarga patrilineal sangat disenangi dalam keluarga, dibanding anak perempuan, sebab anak laki-laki menjadi penentu kelanjutan keturunan atau generasi. Dengan demikaian, kehadiran anak laki-laki sangat didambakan, sedangkan anak perempuan untuk orang lain atau pelanjut keturunan pihak lain itu.[8]  Akan tetapi, ada bebarapa syarat yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki, misalnya suatu ketika laki-laki (suami) tersebut didapati menyeleweng kawin dengan perempuan lain, maka pria tersebut harus membayar harta cerai kepada istrinya sebesar ‘harta’[9] semula. Hal ini karean, perbuatan suami tersebut secara langsung telah merugikan sanak saudara istrinya dan akan dituntut hingga pembayaran selesai.     Mengenai sistem religi yang terdapat dalam masyarakat Ambon bahwa, sebagian besar penduduk memeluk agama Kristen dan Islam. Agama lain seperti agama Hindu dan agama Budha, dianut di kalangan para penduduk yang berasal dari luar kota Ambon. Selain itu masih ada sebagian kecil masyarakat ambon yang tinggal di daerah pedalaman atau suku-suku terasing masih memeluk kepercayaan tradisional mereka, yaitu ‘Animisme’.[10] Namun hal tersebut tidak berpengaruh bagi sistem kepercayaan mereka. Di bidang perkawinan hal ini tanpak jelas bahwa upacara tradisional dan agama berjalan bersama-sama serta saling mengisi satu sama yang lain. Dengan demikian kepercayaan tradisional masyarakat Ambon hingga saat ini, masih tetap dipertahankan.  Ziwar Effendi mengatakan bahwa,
“Untuk kelompok yang masih berkepercayaan animisme adat memegang peranan utama. Di desa-desa  atau wilayah-wilayah yang beragama Islam perkawinan biasanya diikuti dengan upacara pembacaan doa atau doa dan dilanjutkan dengan pesta pora dan lain-lain. Sedangkan pengesahan perkawinan untuk yang beragama Kristen selain pengesahannya oleh pemerintah, pengukuhannya berlangsung di Gereja” [11]
Telah dijelaskan di bagian awal, bahwa dalam situasi seperti ini, pendidikan agama atau teologi masih sangat diperlukan untuk kehidupan mereka,  sebab, dari latar belakang suku yang berbeda ini, agama diperlukan untuk menyatukan sekaligus menjadi panutan. Hal ini karena, agama berkaitan  dengan iman kepada Tuhan, yang berarti mengundang Tuhan untuk hadir dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran Tuhan  di sini, bukan sebagai orang asing atau orang tamu yang dinomor duakan, melainkan kehadiran Tuhan dijadikan sebagai teladan atau panutan untuk membantu manusia menyelesaikan masalah kemanusiaan yang sering terjadi tersebut. Allah adalah pencipta satu-satunya dari manusia dan dunia, maka sebagai pencipta ia telah mengetahui apa yang diperlukan oleh manusia, oleh karena itu Allah selalu berada di tengah-dunia manusia. Dalam tatacara perkawinanpun Allah harus selalu hadir sebagai pemersatu dan pelindung rumah tangga keluarga, sehingga keluarga itu berjalan dengan damai dan sejahtera.                                                                        Berkaitan dengan adat  perkawinan, bahwa dalam masyarakat Ambon perkawinan dinilai sebagai urusan dari dua kelompok kekerabatan, yaitu matarumah dana family.[12] Kedua kelompok tersebutlah yang menentukan fungsi penyelenggaraan dari perkawinan itu. Perkawinan dapat terjadi apabila syarat mutlak dalam perkawinan telah dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan. Misalnya kemantangan biologis, kematangan jiwa, dan memahami arti perkawinan yang sesungguhnya berdasarkan ajaran agama dana adat. Di dalam masyarakat Ambon, apabila seorang gadis yang menginginkan untuk kawin, ia harus mampu memarut seratus butir buah kelapa dalam sehari untuk dimasak menjadi minyak.[13] Perkawinan dalam masyarakat Ambon sifatnya ‘exogami’, hal ini berdasarkan pada sistem kekeluargaan patrilinear, yang dimana pihak perempuan harus keluar dari kerabatnya dan bersatu dengan laki-laki. Mereka mengenal tiga macam cara perkawinan, yaitu kawin minta atau kawin pinang, kawin sumbah,  dan kawin lari.                     Kawin minta atau kawin pinang terjadi apabila seorang laki-laki yang ingin berumah tangga, (gadis dan pria sebelumnya sudah berpacaran), Orang tua dari pihak laki-laki mengirimkan utusan meminta kesediaan keluarga wanita untuk menerima kunjungan laki-laki pada hari yang ditentukan. Biasanya, setelah pihak wanita menyetujui kunjungan laki-laki, hari kunjungan laki-laiki tersebut ditentukan oleh pihak perempuan. Mengenai kawin sambah, jenis perkawinan ini menurut pandangan orang Ambon adalah kawin tipu muslihat, sebab bentuk perkawinan ini terjadi tanpa sepengetahuan ikatan keluarga laki-laki, dan pelakasanaan perkawinan ditanggung sepenuhnya oleh orang tua gadis.[14] Bentuk perkawinan seperti ini menurut saya, terjadi karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan, dan kemungikinan masalah itu dirasa berat, lalu tidak ingin memperpanjang masalah, maka cara inilah yang mereka gunakan. Kemudian yang terjadi adalah mereka (pihak perempuan) tidak memberitahukan kepada pihak laki-laki, karena kemungkinan masalah tersebut akan diperpanjang dan menunut tanggungjawab yang lebih besar.                                                             Berkaitan dengan Kawin lari, sistem perkawinan ini dikatakan bahwa yang palinglazim terjadi.Mengapa? Hal ini disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jalan pendek, dengan maksud untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara.Jenis perkawinan inisebenarnya dipandang kurang baik dan kurang diinginkan oleh keluarga perempuan. Namun di lain pihak, perkawinan ini terjadi karena atas permintaan orangtua gadis dengan maksud supaya menyingkat waktu dan  mengurangi biaya yang harus dikeluarkan dalam kawin  pinang.[15] Persoalan mengenai masalah tidak senang atau senang dari pihak perempuan, mungkin dipertimbangkan dari situasi yang ada.
 III.      Perkawinan dalam Perspektif Pendidikan Teologi Kristiani
            Perkawinan merupakan hakikat dasar yang sudah ada dalam diri manusia sejak manusia diciptakan karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan (bdk. Kejadian 1____2). Kitab kejadian menjelaskan bahwa, wanita diciptakan untuk pria yang memerlukan seseorang untuk melengkapinya. Artinya, Wanita diciptakan supaya membentuk pasangan pria dan wanita sebagai citra Allah.                                                                     Ajaran resmi Gereja Katolik mengenai perkawinan mengambil dasar dari Kitab Suci. Oleh karean itu, dari ajaran Gereja yang didasarkan dalam kitab suci mengatakan bahwa, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan “menurut gambar-Nya”. Laki-laki dan perempuan ini kemudian diberkati Allah. Pemberkatan oleh ini, sebagai bukti yang sebetulnya mau menjelaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang “diberkati”  Allah, kiranya memberi kesan keduanya “dinikahkan” oleh Allah.[16]  Menurut saya, pemberkatan seorang laki-laki dan perempuan oleh Allah ini, memang dapat diartikan “pemberkatan nikah” karena mereka yang telah diberkti itu kemudian diberi tugas oleh Allah seperti: “bernak cuculah”,  dan “penuhilah bumi”  (bdk. Kej 1: 28). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hakikat perkawinan adalah persatuan seorang laki-laki dan perempuan,yang diberkati oleh Allah sendiri, dan diberi tugas bersama oleh-Nya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia. Dengan pandangan Alkitab juga, St. Agustinus memandang perkawinan sebagai yang hal yang luhur dan baik, karena di dalamnya terdapat tiga hal kebaikan, yakni keturunan, kesetiaan, (tak terceraikannya perkawinan) dan rahmat                           sakramentalitas.[17]                                                                                                                         Dari pandangan St. Agustinus ini dilihat bahwa, perkawinan bukanlah sesuatu yang direndahkan oleh manusia bigitu saja, perkawinan harus dilihat sebagai sarana yang baik untuk mencapai kepada Allah. Allah menggunakan perkawinan untuk menyalurkan cinta-Nya kepada manusia melalui cinta kasih mereka dalam perkawinan tersebut.Oleh karena itu, hargailah kebaikan Allah itu, sebagai tanda terima kasih kepada-Nya. Perkawinan seharusnya  dilihat sebagai hadiah dari Tuhan, dimana perkawina telah diberkatai oleh Tuhan sendiri serta dianugerahi cinta kasih yang sifantnya adalah ilhai, karena dari yang Ilahai. Perlu diketahui bahwa perkawinan tidak mudah diperjuangkan.Selain St. Agustinus, para Bapa Gereja yang lain mencoba menegaskan tentang martabat perkawinan, dan sekaligus menegaskanajaran Yesus  mengenai keluhuran hidup tidak menikah demi kerajaan Allah. Mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, para Bapa Gereja menjelaskan kembali keluhuran perkawinan sebagai lambang cinta antara Kristus dam Gereja-nya. Hal ini tampak dalam ajaran Origenes  yang memandang perkawinan sebagai “ lambang” suami-istri mengambil bagian dalam hubungan antara cinta Kristus terhadap Gereja.
 IV.   Peran Pendidikan Teologi terhadap Budaya Perkawinan Masyarakat Ambon
        Dewasa ini, pendidikan teologi sangat diperlukan oleh masyarakat ‘awam’. Pendidikan yang baik dan benar menjadi harapan mereka saat ini.Peran pendidikan teologi dalam kehidupan masyarakat bukan hanya berperan di dalam bidang Agama, melainkan juga dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti di bidang sosial.budaya dan lain-lain. Seperti halnya dalam masyarakat Ambon, pendidikan teologi sangat penting bagi kebudyaan mereka.Pendidikan teologi berperan sebagai mediator yang membawa masyarakat mengenal Allah, dan memasukan Allah kedalam hidup budaya mereka.sebab secara teologis, Allah sendirilah yang menderikan perkawinan dan menganugerahkan berbagai rahmat dan tujuan kepadanya. Dengan adanya teologi, masyarakat menyadari bahwa Allah yang hadir itu menghadirkan cinta kasih yang tulus dalam rumah tangga perkawinan mereka. Oleh karena itu, kepercayaan-kepercayaan tradisional yang masih dianut sampai sekarang, sedikit demi sedikit akan dipengaruhi oleh pengajaran teologi.
        Berdasarkan teori v. Peursen, bahwa setiap kebudayaan selalu berada dalam ketegangan an yang  antara sikap terbuka dan tertutup oleh manusia.[18] Maksudnya, manusia cendrung selalu ada dalam situasi di mana tidak menyadari hal-hal yang ada dalam dirinya maupun di luar dirinya, sehingga cendrung memutlakan apa yang seharusnya terjadi, dan mempertahankan apa yang sebetulnnya memeliki sifat yang sementara. Oleh karena itu, pendidikan teologi yang mengajarkan tentang iman akan Allah, hendak menjelaskan bahwa Allah berhadapan dengan manusia sebagai pencipta-Nya, dan pada kesadaran akan dosa yang telah menutupi mata, harusnya kembali terbuka untuk memandang lebih jauh ke arah yang lebih baik. Dari pemahaman teori v Peursen ini, kiranya teologi berperan sebagai pengungkap tabir ketertutupan manusia, dan pembuka
    V.       Penutup
            Perkawinan merupakan hak setiap laki-laki dan perempuan. Selain perkawinan sebagai budaya, perkawinan juga sebagai panggilan Tuhan untuk setiap orang. Oleh karena itu perkawinan harus dilindungi dan dijaga, karena sebagai panggilan Allah. Cara untuk menjaga perkawinan adalah, setiap orang harus mempelajari dan mengerti tentang budayanya dan yang paling prnting adalah ajaran agamanya. Setiap orang harus menyadari peran pendidikan agama (teologi) dalam kehidupanya, sehingga apapun yang dilakukannya memiliki nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.                                                                     Masyarakat Ambon, memandang perkawinan sebagai budaya, mereka juga mengahayati perkawinan sebagai pasangan yang diberkati Tuhan. Orang-orang Ambon memiliki jenis perkawinan yang berbeda-beda, namun semuanya diatur dalam adat, dan harus sesuai dengan aturan adat. Dalam situasi seperti itu mereka memerlukan peran agama (teologi) karena sebagai manusia, pasti ada kesalahan-kesalahan manusiawi yang terjadi. Allah dibutuhkan sebagai penopang dan penolong dalam menyelesaikan masalaha setiap hari. Mengahadirkan Allah dalam hidup berarti menghormati Allah sebagai yang terutama atau yang paling terhormat, karena secara tidak langsung berdasarkan pendidikan teologi, Tuhan telah hadir dalam hidup manusia sebelum manusia memanggilnya. Artinya, Tuhan yang sebagai pencipta, telah mengetahui semuanya tentang manusia, sehingga sebagai manusia harusnya menyadari kehadiran Tuhan sebagai tuan atas dirinya.





Daftar Pustaka
Daftar Sumber

A.Heuken. Ensiklopedi Gereja III. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 1993.            
Effendi, Ziwar. Hukum Adat Ambon-Lease. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.  
Kleden, Paul Budi. Teologi Terlibat : Politik dan Budaya dalam Terang Teologi        Maumere : Ledelero, 2003.
Tobing, Nelly ed. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku. Jakarta : Balai Pustaka, 1977.

Daftar Acuan
Dister, Nico Syukur, Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
































`           [1]  Aktivitas menyangkut karya-karya seni yang pernah dihasilkan atau tarian yang peragakan untuk mengundang  kekaguman.sedangkan totalitas ini dapat dilihat dari tiga aspek dasar : aspek pengetahuan atau kognitif, aspek nilai atau etis dan aspek tindakan atau praktis. Dikutip dari Paul Budi Kleden, SVD, Teologi Terlibat : Politik dan Budaya dalam Terang Teologi , (Maumere : Ledelero, 2003) , 5.
[2]  Religi yang saya maksudkan adalah epercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat lokal dalam suatu kebudayaan.
[3] Agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan dan  peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa .  dikutip dari KBBI dan  Agama yang diangkat dalam tulisan ini adalah Agama Kristiani
[4]  Nico Syukur Dister. OFM, Pengantar Teologi. (Yogyakarta: Kanisius, 1990) , 17.
[5]  Seram adalah pulau terbesar di selatan provinsi Maluku. Menurut kepercayaan setempat, Seram adalah  Nusa Ina atau ibu pulau dimana semua orang Maluku Tengah datang dari pulau tersebut. Pulau ini bergunung dan mencakup 3027m Gunung Binaya, gunung tertinggi di semua Maluku. Hingga saat ini pulau Seram memeliki  daya tarik para turis asing untuk berkunjung ke sana,  karean di pantai utara terdapat desa Sawai yang indah dan memiliki tebing-tebing yang menjulang tinggi, dan pulau-pulau lepas pantai yang menarik. Dikutip dari (http://www.east-indonesia.info/regions/maluku-travel-information-seram.html) di akses pada tanggal 6 November 2014, Jam 11: 45)
[6]  Ziwar Effendi, S.H., Hukum Adat Ambon-Lease. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), 11.
[7] (Ziwar,Hukum Adat, 1)
[8] Nelly Tobing. ed. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku ( Jakarta : Balai Pustaka, 1977), 153.
[9] Harta tersebut harus di bayar dalam jangka waktu tertentu pula. Tetapi pada waktu sekarang proses pembayaran, dapat ditunda asal saja dibayar. Sebab harta yang diberikan  bukan hanya  sebagai harta cerai, melainkan nilainya sebagai tanda cerai. (Nelly Tobing. ed. Adat, 59)
[10] Animismemerupakan  kepercayaan akan roh-roh nenek moyang yang telah meninggal dunia ataupun roh-roh yang diyakini memiliki kekuataan yang dapat membantu masyarakat. (Nelly Tobing. ed. Adat , 30-31)
[11] ( Ziwar, Hukum, 31)
[12] (Nelly, Adat, 65)
[13]( Nelly, Adat, 109)
[14] (Nelly, 1977, 109)
[15](Nelly, Adat, 66)
[16]  A Heuken, SJ, Ensiklopedi Gereja III  ( Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 1993),     373
[17] (Heuken, Ensiklopedi, 374)
[18](Paul Kleden, Teologi, 27)

Rabu, 20 Agustus 2014

Hakikat dasar sakramen Ekaristi dan Imamat serta Hubungan di antara kedua Sakramen


BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar  Belakang
        Gereja Katoloik Roma adalah salah satu instutusi religius yang tidak terlepas dari aturna-aturan. Salah satu aturan gereja yang memikat adalah sakramen. Ajaran gereja mengenai sakramen diakui sebagai satu ajaran yang akurat dimana sakramen itu sacral dan suci. Sakramen merupakan tanda keselamtan yang diberikan kangsung oleh Allah kepada manusia. Terdapat 7 macam sakramen dalam gereja katolik yakni sakramen permandian, sakramen ekaristi, sakramen khrisma, sakramen tobat, sakramen perkawinan, sakramen minyak suci dan sakramen imamat. Dari ketujuh sakramen tersebut yang di anggap paling utama dari yang utama adalah sakramen ekaristi. Karena dalam ekaristi umat melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh yesus bersama para muruidNya. Hal ini terjadi pada saat perjamuan malam terakhir sebelum penderitaan Yesus sampai pada kematian.
        Dalam Sakramen Ekaristi roti dan anggur yang kurbankan oleh imam di yakini sebagai tubuh dan darah kristus yang utuh. Peristiwa ini berdasarkan pandangan Umat Kristiani, tidak diragukan kebenarannya karena  mempunyai dasar alkitabiah yang sangat jelas yakni :
“ Dan ketika mereka sedang makan , Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-muridNya sambil berkata : Ambilah dan makanlah inilah tubuh-Ku. Sesudah itu Ia mengambil cawan  mengucap syukur lalu memberikannya kepada mereka lalu berkata :” minumlah kamu semua dari cawan ini. sebab inilah darah-Ku , darah perjanjian yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa.”   ( bdk. Matius 26 :26-29 ; Luk 22 : 14-23 ; Yoh 6 : 25-29 ; I kor 11 :17-33 )                  
     Karena begitu sakralnya sakramen ekaristi, telah disinggung bahwa hanya  orang-orang tertabislah ( imam) yang boleh mempersembahkan ekaristi. Orang itu secara liturgis di pilih secara khusus oleh Tuhan untuk menatapkan ekaristi sekaligus sebagai pewarta sabda-Nya. Lalu siapakah imam itu ? dan dari mana asalnya? Imam adalah seorang pria dari keluarga Katolik yang sudah dibabtis secara katolik, dewasa dan dapat menerima sakramen thabisan secara sah. Thabisan merupakan salah satu sakramen yang diciptakan oleh Yesus pada saat penetapan perjamuan malam terakhir. Boleh dikatakan bahwa dua sakramen gereja yang sacara tidak langsung diciptakan sacara bersamaan adalah sakramen ekaristi dan imamat. Oleh karena itu penthabisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan uskup, imam dan diakon. Sehingga penerimaan sakramen ini dibuktikan sebagai citra Kristus. Hanya uskuplah yang boleh memberikan sakramen ini.[1]                                    
   Namun dewasa ini , dalam hidup menggereja muncul berbagai macam pertanyaan dalam pikiran umat. Pertanyaan –pertanyaan ini bahkan menimbulkan pertentantangan di antara umat kristiani. Contoh pertanyaan –pertanyaan itu seperti kuasa imam dalam menyucikan sakramen-sakramen khususnya, dalam sakramen ekaristi lalu muncul konsep realistis yang terjadi dimana ada dasar pembatasan imamat hanya untuk kaum pria .                      
      Problema di atas merupakan masalah real yang di hadapi oleh umat dewasa ini. oleh karena itu bertolak dari masalah tersebut penulis tergerak hati untuk menuliskan sebuah karya tulis yang sederhana kepada para pembaca dengan judul “ Hakekat Dasar Sakramen Ekaristi dan Sakramen Imamat.”  Dalam karya tulis ini penulis menjelaskan secara singkat mengenai masalah tersebut. Semoga karya tulis sederhana ini dapat menjawabi masalah –masalah yang masih berada di dalam pikiran para pembaca sekalian.
B.  Rumusan Masalah
Dari  latar belakang penulisan tersebut penulis menemukan beberapa masalah yang   perlu dibahas yakni :                                                                                                                     
    1. Hakekat dasar dari Sakramen Imamat dan Sakramen Ekaristi                                     
    2. Bagaimana dapat memberikan dan menerimakan Sakramen Imamat                         
    3. Mengapa hanya kaum terthabis yang dapat menetapkan Perayaan Ekaristi
C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya ini adalah untuk menjelaskan kepada para pembaca mengenai   hakekat dasar dari sakramen imamat dan sakramen ekaristi, bagaimana dapat memberikan dan menerima sakramen ekaristi, lalu mejelaskan pula mengenai masalah hanya kaum terthabis yang dapat menetapkan perayaan eskaristi.
D.  Manfaat Penulisan
                 Manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah Memberikan pengetahan yang mendasar kepada umat katolik mengenai arti dan seluk –belul sakramen ekaristi dan imamat , sehingga tidak menimbulkan kelasalahpahaman dalam kehidupan menggereja.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sakramen
1.  Arti Etimologis                                                                                                                     
    Kata sakramen berasal dari  bahasa Latin :                              
  a.   "Sacramentum" yang artinya hal-hal yang berkaitan dengan ilahi, membuat suci, penggunaan suci, mempersembahkan kepada dewa-dewa. Sakramen juga  berarti tanda keselamatan Allah yang diberikan kepada manusia.
    b.    “ Musterion, “ketetapan-ketetapan yang diberikan tekanan atau perhatian khusus”   (dalam Vulgata, berarti, ketetapan yang Yesus berikan tekanan khusus); Kedua kata tersebut dipakai –dalam budaya Helenis- sebagai :                                                      
(1.) Uang muka yang dibayar dua belah pihak yang mengadakan perkara di    pengadilan.
(2.)  Sacrementuentum, merupakan jaminan bahwa pihak yang kalah sudah membayar    kepada pengadilan semua ongkos perkara. Uang tersebut tidak akan dikembalikan.
(3.) Sumpah tentara kepada panglima. Seorang prajurit tetap setia kepada panglimanya, bahkan sampai mati demi bangsa dan negaranya.[2]
2. Arti Leksikal
              1. Kamus Teologi
Sakramem adalah : Tanda kelihatan yang diadakan oleh Kristus yang menyatakan dan menyampaikan rahmat.[3]
3. Menurut Para Bapa Gereja
a. St. Agustinus
(1.) Tanda-tanda yang kelihatan dari yang tidak kelihatan dari suatu hal suci;   atau wujud yang kelihatan dari rahmat yang tidak kelihatan; Firman yang kelihatan.       
(2.) Tanda dan materei yang kelihatan dan suci yang ditentukan oleh Tuhan Allah, menjelaskan bahwa segala sesuatu yang dijanjikan-Nya supaya iman kita dikuatkan.          
(3.) Ditetapkan Tuhan Allah untuk menguatkan persekutuan sesama anak-anak Allah. Sakramen memberikan anugerah dan mengu-dusan seseorang. Cara untuk mempersatukan seseorang manusia dengan Kristus, dan mempertahankan persatuan itu.
b. St. Ambrosius.                                                                                      
 Memandang santapan sakramental sebagai benar-benar tubuh dan darah Yesus. Prinsip yang membuat itu adalah Sabda Kristus. Sabda Kristus ini menyebabkan    suatu perubahan (consecratio, mutatio) dari roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus.[4]
B. Macam – macam Sakramen dalam Gereja Katolik
  1. Sakramen Permandian                                                                                                                   Sakramen Pembaptisan adalah sakramen pertama yang diterima. Umat beriman        wajib menerima Pembaptisan sebelum menerima sakramen-sakramen yang lain.
  2. Sakramen Tobat                                                                                                 
 Sakramen Tobat disebut juga Sakramen Pengakuan atau Sakramen Rekonsiliasi. Kristus memberikan kuasa kepada para Rasul untuk mengampuni dosa atas nama-Nya, dan para Rasul meneruskan kuasa tersebut kepada penerus-penerus mereka, yaitu para Uskup dan Imam. Sakramen Tobat mengampuni dosa-dosa yang dilakukan setelah Baptis.
    3. Sakramen Ekaristi                                                                                                                       Sakramen Ekaristi disebut juga Sakramen Maha Kudus atau Komuni Kudus. Ekaristi bukanlah sekedar lambang belaka, tetapi adalah sungguh Tubuh, Darah, Jiwa dan Ke-Allah-an Yesus Kristus.
    4. Sakramen Penguatan                                                                                                     
  Sakramen Penguatan disebut juga Sakramen Krisma. Sakramen Penguatan menjadikan Umat dewasa secara rohani dan menjadikan kita saksi-saksi Kristus. Penguatan hanya diterimakan satu kali untuk selamanya namun meninggalkan meterai rohani yang tidak dapat dihapuskan.
    5. Sakramen Pengurapan Orang Sakit                                                                     
Sakramen Pengurapan Orang Sakit biasanya diberikan kepada orang yang berada dalam sakratul maut atau orang yang bersiap menghadapi kematian. Sakramen ini bisa diterimakan berkali-kali dalam kondisi tertentu.
    6. Sakramen Perkawinan                                                                                                                 Sakramen ini, dengan kuasa Allah, mengikat seorang pria dan seorang wanita dalam suatu kehidupan bersama dengan tujuan kesatuan (kasih) dan kesuburan (lahirnya keturunan). Perkawinan tidak terceraikan, mengikat seumur hidup          (1Kor 7:10-11, 39, Mat 19:4-9).
    7. Sakramen Imamat                                                                                                
           Sakramen Imamat disebut juga Sakramen Tahbisan. Acuan Sakramen Imamat Tahbisan memungkinkan para Rasul Kristus dan penerus-penerus mereka untuk menerimakan Sakramen-sakramen. Ada tiga jenjang Sakramen Tahbisan: diakon, imam, dan uskup. Hanya para imam dan uskup yang boleh menerimakan Sakramen Pengakuan serta mempersembahkan Kurban Misa. [5]

C. Hakekat dasar Sakramen Ekaristi dan Sakramen Imamat
                 1.  Sakramen Ekarsti
Sakramen Ekaristi adalah sakramen utama. Ia adalah puncak dan sumber seluruh hidup Kristiani dan sakramen-sakramen lainnya, begitu juga semua pelayanan gerejani dan karya kerasulan, berhubungan erat dan terarah kepadanya. Karena dalam Ekaristi tercakup seluruh kekayaan rohani Gereja, yakni Yesus Kristus sendiri. Tujuan dari Sakramen Ekaristi ini adalah memberikan kita tubuh dan darah Yesus Kristus sebagai santapan spiritual. Ini sesuai dengan ajaram Konsili Vatikan II yang menyebut Ekaristi bahkan dikatakan bahwa sakramen-sakramen lainnya berhubungan erat dengan Ekarisiti dan terarah padanya (PO 5; UR 22) maka dapat dikatakan bahwa perayaan Ekarisit itu pelaksanaan diri Gereja di bidang liturgis.[6]
 “ Sakramen Ekaristi mengandung dua dimensi, yaitu dimensi Ilahi: menghubungkan masing-masing orang secara pribadi dengan Allah; dan dimensi gerejawi: menghubungkan umat satu sama lain, dan menjadikan kita peserta daslam gereja.”( Gerald. 1996 : 64 ) terlepas dari kedua dimensi tersebut Sakramen Ekaristi memiliki aneka ragam nama. Dan dari setiap nama menunjukkan kepada aspek-aspek tertentu dari Sakramen tersebut. Hal ini dikemukakan oleh J.A.Jungman SJ ( 1962 : 52 ) sebagai berikut            :
“ 1.Ekaristi; karena ia merupakan ucapan syukur / terimakasih kepada Allah. Kata Eucharistein menunjuk pada pujian bangsa Yahudi yang memuliakan karya Allah: penciptaan, penebusan dan pengudusan.      
2. Perjamuan Tuhan; karena ia menyangkut perjamuan malam, yang diadakan Tuhan bersama murid-muridNya sebelum peristiwa paskah, sekalugus menyangkut antisipasi perjamuan Anak Domba di Yerusalem Surgawi. 
3. Pemecahan Roti; ini adalah ritus khas pada perjamuan Yahudi, yang dilakukan juga oleh Yesus pada waktu makan: memberkati roti dan membagi-bagikannya. 
4. Perhimpunan Ekaristi; karena Ekaristi dirayakan dalam perhimpunan umat beriman, dimana Gereja dinyatakan secara kelihatan 
5. Kenangan; akan kesengsaraan dan kebangkitan Tuhan. 
6. Kurban Kudus; karena ia menghadirkan kurban tunggal Kristus sekaligus mencakup penyerahan diri Gereja. Ia menyempurnakan dan melebihi kurban Pernjian Lama. 
7. Liturgi Kudus dan Ilahi; kerana seluruh liturgi Gereja berpusat padanya. 
8. Komuni; karenadi dalamnya kita menyatukan diri dengan Kristus, yang mengundang kita untuk mengambil bagian dalam Tubuh dan DarahNya, supaya kita membentuk satu tubuh (bdk. 1 Kor 10:16-17). 
9. Misa Kudus; karena liturgi dimana misteri keselamatan dirayakan berakhir dengan pengutusan umat beriman, supaya melaksanakan kehendak Tuhan di dalam kehidupannya sehari-hari.”
Pokok perayaan Ekaristi adalah Doa Syukur Agung dan komuni, sebagai partisipasinya doa ini hanya dilakkukan oleh seorang Imam. Disamping itu berkembanglah banyak doa dan upacara lain yang mendukung dan memeriahkan perayaan. Dalam perayaan ekarisiti kedua hal itu tidak hanya menjadi satu, melainkan secara bertahap.

Konsili vatikan II tidak memberikan banyak penjalasan atau ajaran mengenai Ekaristi. Ajaran resmi gereja mengenai Ekaristi berasal dari Konsili Terente ( 1545-1563). Konsili Terenta hanya berbicara mengenai dua hal saja, yakni kehadiran Kristus dalm Ekaristi. Ajaran Terente mengenai Kehadiran Kristus dalam Ekaristi berbunyi : “ Dalam Sakramen Ekaristi yang mahakudus ada secara sungguh, riil, dan substansial, tubuh dan darah Kristus , bersama dengan jiwa dan ke –allahanNya, jadi seluruh Kristus. Tidak “ tinggal substansi roti dan anggur bersama tubuh dan darah Tuhan kita Yesus Kristus “sebab tubuh dan darah Kristus hadir  karena “ perubahan seluruh substansi roti menjadi tubuh dan substansi anggur menjadi darah, sedang yang tinggal hanyalah roti dan anggur , ialah perubahan yang oleh Gereja Katolik dengan tepat disebut trans-substansiatio.” (DS 1651-2)

Konsili Vatikan II sedikit banyak melengkapi keterbatasan rumusan  Konsili Terente ini , ajaran Konsili Vatikan II berbunyi : “ Dalam perjamuan terakhir, pada malam Ia diserahkan, pemnyelamat kita mengadakan kurban  ekaristi tubuh dan darahNya , untuk melangsungkan korban salib selama peredaran abad sampai Ia datang kembali. Dengan demikian Ia mempercayakan kepada Gereja mempelaiNya yang tercinta , pengenangan  akan wafat dan kebangkitanNya. ( SC 47 ).
Oleh karena itu Konsili Vatikan II memeliki pengertian yang luas tentang  kehadiran Kristus. Dengan demikian perayaan ekaristi merupakan pegungkapan iman gereja , bukan pegungkapan iman satu orang saja. Mengambil bagian dalam perayaan sama dengan partisipasi dalam jemaat. Ekaristi melambangkan serta memperbuahkan kesatuan Gereja.[7]
            2. Sakramen Imamat
Ekarisiti merupakan puncak dan pusat seluruh kehidupan sakramenta-liturgis Gereja. Maka pemimpin sakramen Ekaristi bukanlah orang “áwam” biasa melainkan orang itu diangkat secara khusus oleh Allah dalam rupa tahbisan suci. Imamat atau Pentahbisan adalah sakramen yang dengannya seseorang dijadikan uskup, imam, atau diakon, sehingga penerima sakramen ini dibaktikan sebagai citra Kristus. penumpangan tangan merupakan tanda berkat , dan mungkin juga penyerahan kuasa   ( bdk Kis 20:28 ;1Tim 4:14; 2Tim 1:16). Sejak itu inti pokok upacara Penthabisan ialah penumpangan tangan disertai doa ysng dalam tahbisan berbunyi “berikanlah kami mohon, Bapa yang  Mahakuasa kepada hambaMU ini martabat imamat ; perbaruilahg dalam hati mereka Roh kekudusam ; semoga mereka diberi tugas derajat kedua , yang diterima daripadaMu, ya Allah, dan mengajarkan kewajiban mora dengan teladan hidup mereka.”  Dengan demikian, terungkap bahwa mereka sungguh menjadi imam. Menurut Paulus Budi Kleden, SVD ( 2003 : 92 ) “Pentahbisan seseorang menjadi uskup menganugerahkan kegenapan sakramen Imamat baginya, menjadikannya anggota badan penerus (pengganti) para rasul, dan memberi dia misi untuk mengajar, menguduskan, dan menuntun, disertai kepedulian dari semua Gereja. Pentahbisan seseorang menjadi imam mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Kepala Gereja dan Imam Agung, serta menganugerahkan baginya kuasa, sebagai asisten uskup yang bersangkutan, untuk merayakan sakramen-sakramen dan kegiatan-kegiatan liturgis lainnya, teristimewa Ekaristi. Pentahbisan seseorang menjadi diakon mengkonfigurasinya menjadi Kristus selaku Hamba semua orang, menempatkan dia pada tugas pelayanan uskup yang bersangkutan, khususnya pada kegiatan Gereja dalam mengamalkan cinta-kasih Kristiani terhadap kaum papa dan dalam memberitakan firman Allah. “Orang-orang yang berkeinginan menjadi imam dituntut oleh Hukum Kanonik (Kanon 1032 dalam Kitab Hukum Kanonik) untuk menjalani suatu program seminari yang selain berisi studi filsafat dan teologi sampai lulus, juga mencakup suatu program formasi yang meliputi pengarahan rohani, berbagai retreat, pengalaman apostolat (semacam Kuliah Kerja Nyata), dst. Proses pendidikan sebagai persiapan untuk pentahbisan sebagai diakon permanen diatur oleh Konferensi Wali Gereja terkait.

A. Pandangan Umum Tentang Imamat.
     Anggapan Umum thabisan imam sudah berarti kepenuhan imamat , berhubungan dengan pandangan yang melihat tugas imam melulu daplam kaitan dengan Ekarisiti (dan Sakramen Tobat). Seorang imam dipandang sebagai orang yang diberi kuasa mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus dan mengampuni dosa. Pandangan salah ini mempunyai dasar dalam Konsili Terente, yang menegaskan tugas sacramental imam dalam jawabannya terhadap ajaran Protestan. Oleh karena Terente hanya mau menanggapi ajaran Reformasi, maka juga hanya menyebut hal-hal yang dipersoalkan dalam Reformasi. Ajaran Terente tidak lengkap oleh karena itu Konsili Vatikan II melengkapi ajaran Terente dengan mengajarkan bahwa tugas pokok seorang uskup dan imam adalah kepemimpinan.Tugas itu kemudian dijabarkan menjadi tiga tugas khusus. Yang pertama tugas pewartaan, selanjutnya bidang Sakramen, dan akhirnya seluruh kehidupan jemaat.

B. Imam Sebagai Pembantu Uskup
        Dalam ajaran Konsili Vatikan II tahbisan uskup diterimakan kepenuhan sakramen Imamat, yakni yang disebut imam tertinggi, keseluruhan pelayanan suci. (LG 21). Kepenuhan imamat diberikan dengan thabisan uskup bukan thabisan imamat. Uskup pada zaman sekarang jarang tampil didepan umat. Ini berhubungan dengan “ukuran” keuskupan. Pada zaman dahulu seorang uskup disebut sebagai “ pastor kepala” dan para imam sebagai “ pastor pembantu”. Namun setelah Konsili Vatikan II, konsep ini dihilangkan dari tengah umat. Para imam dipanggil melayani umat Allah sebagai pemabantu arif bagi bagi badan para uskup. Tugas konkret mereka sama seperti uskup: “ Imam dithabiskan untuk mewartakan injil, menggembalakan umat beriman , dan unutk merayakan ibadat Ilahi.”( LG 28). Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK kan. 495) dikatakan bahwa : “ semua imam adalah pembantu Uskup dan mengambil bagian dalam tugas membangun jemaat. Tetapi tugas membantu uskup dalam kepemimpinan keuskupan secara khusus dipercayakan kepada dewan imam yang merupakan suatu senat uskup sekaligus mawakili para imam dalam suatu keuskupan.” Secara umum para uskup mempunyai dua macam pemabantu : pembantu umum    ( disebut imam) dan pembantu khusus ( Diakon). Dengan adanya diakon maka, organisasi gereja sekarang semua tugas bisa dilakukan oleh imam dan awam. Awam terlibat dalam gereja sebagai pembantu imam dalam berbagai pelayanan liturgi. Banyak tugas dilakukan oleh awam yang tidak tertahbis.                                                  

     Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hakekat dasar dari Sakramen Imamat dan Ekaristi merupakan sakramen yang sangat erat hubungannya, Kristus hadir di dunia sabgai Nabi, Imam , dan Raja. Ingat bahwa Kristus yang adalah Imam itulah yang dapat menyucikan Sakramen Ekaristi itu. Sakramen Ekaristi merupakan Sakramen yang Sacral,  Maka dari kesakralannya itu diperlukan orang –orang yg diurapi untuk meenyucikannya. Imam adalah ,  orang yang oleh rahmat khusus dari Roh Kudus, menerima Sakramen Thabisan sehingga ia menjadi serupa dengan Kristus, supaya ia melayani Gereja sebagai alat Kristus. Tahbisan memberi kuasa kepada seseorang untuk bertindak sebagai wakil Kristus dalam ketiga fungsinya: Imam, Raja dan Nabi. Dengan demikian sakramen Ekaristi menjadi suci karena  kuasa thabisan itu. Sebab oleh kuasa tahbisannya itu, telah diberi kuasa oleh Kristus untuk mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya, oleh kuasa Roh Kudus, melalui perkataan Sabda-Nya, dalam konsekrasi.


D. Bagaimana dapat Memberikan dan Menerimakan Sakramen Imamat 
                               
 1.     Siapa Dapat Memberi Sakramen Tahbisan ?
    Kristus telah memberi para Rasul dan memberi mereka bagaian   dalam perutusan dan kekuasaanNya. “ Ditinggikan di sebelah kanan Bapa , Ia tidak meninggalkan kawananNya, tetapi selalu menjaganya dengan perantaraan para Rasul dan memimpinnya dengan perantaraan gembala-gembala yang sekarang melanjutkan karyaNya.” ( Bdk. MR Prefasi Para Rasul)[8]. Jadi Kristuslah yang memberi tugas rasul dan tugas gembala melalui perantaraan para Uskup.                                                        
    Sakramen Tahbisan diidentikan dengan Sakramen Pelayanan Apostolik  , maka para uskup berwenang sebagai pengganti para Rasul, melanjutkan “ anugerah rohani” atau : benih rasuli”  yang diberikan oleh Yesus sendiri. Para uskup yang telah ditahbiskan secara sah, adalah pemberi yang sah unutk jenjang Sakramen tahbisan itu. Dengan demikian Pelayan sakramen Imamat atau tahbisan adalah para Uskup yang telah ditahbiskan secara sah, artinya yang ada dalam suksesi apostolik.

 2. Siapa Dapat Menerima Sakramen Tahbisan ?             
Menurut Kitab Hukum Kanonik, hanya pria yang sudah dibaptis yang dapa menerima Rahmat Thabisan secara sah (Kan 1024). Mengapa harus pria? dan bukan wanita ?                                                                     Yesus telah memilih pria-pria untuk membentuk kelompok keduabelas Rasul (bdk. Mrk 3:14-19; Luk 6:12-16), dan para Rasulpun melakukan hal yang sama ketika mereka memilih rekan kerja (bdk. 1 Tim 3:1-13; 2 Tim 1:6; Tit 1:5-9), yang akan menggantikan mereka dalam tugasnya. Dewan para Uskup yang dengannya para Imam bersatu dalam imamat, menghadirkan dewan keduabelas Rasul sampai Kristus kembali. Gereja menganggap diri terikat pada pilihan ini, yang telah dilakukan Tuhan sendiri.               
      Menurut katekismus Gereja Katolik  dan dokumen-dokumen resmi Gereja lainnya, argumentasi pokok melawan tahbisan wanita adalah praktek Yesus sendiri dan para Rasul. Yesus hanya memilih pria untuk menjadi imam, dan para Rasul juga melakukan hal yang sama ketika memilih para pembantu dan pengganti dalam pelayanan imamat dan rasuli.                                                                                                Argumentasi baru-baru ini bahwa imam adalah gambaran Kristus Mempelai Pria. Olek Karena hanya laki-laki yang  dapat menjadi mempelai pria maka hanya pria yang bisa jadi imam.  Menurut argumentasi ini, tertutupnya wanita menjadi imam berlaku sejak permulaan. Tidak ada bukti dalam seluruh ajaran Gereja bahwa wanita pernah dithabiskan menjadi imam.                                                           Paus Yohanes Paulus II sangat menaruh perhatian akan tertutupnya kemungkinan wanita menjadi imam. Dalam surat Apostolik tertanggal 30 Mei 1994, paus menerangkan bahwa “ Gereja tidak mempunyai wewenang apapun  untuk memberikan tahbisan kepada wanita dan bahwa keputusan ini hendaknya dipegang oleh semua umat beriman”.     
      Ia menulis bahwa tertutupnya wanita menerima tahbisan imamat bukan hanya masalah peraturan pastoral yang dapat diubah. Ini berakar pada praktek Kristus sendiri, yang tidak menbishkan wanita menjadi imam, bahkan ibuNya sendiripun tidak.                
    Kritik yang paling tajam mengenai tertutupnya kemungkinan wanita menjadi imam dayang dari teolog Yesuit Karl Rahner ( tahun 1984). Dalam satu bab bukunya concern for the church ( New York : Crossoard. 1981) yang ditulis untuk menanggapi Deklarasi dari  Kongeregasi Imam Vatikan, Rahrer menulis argument pokok Vatikan melawan thabisan wanita yaitu karena Kristus dan para Rasul tidak menahbiskan wanita.



[1] Adolf Heuken SJ ,  Katekismus Konsili Vatikan II ( Cetakan IV ,Cipta Loka caraka, 1999),pp.132-134
[2] KWI, Iman Katolik ( Kanisius dan Obor , 1996),pp.398-399


[3] Gerald O’Collins SJ , Edward G. Farrugia SJ, Kamus Teologi ( Kanisius, 1996),p.283.
[4] Michael J.Schulteis SJ dkk, Pokok-Pokok Ajaran Sosial Gereja ( Kanisius : 1987)p.35
[5] http//: www. Kristiani.com
[6] KWI, Iman Katolik ( Kanisius dan Obor , 1996),p.402
[7]  KWI. Op.Cit,p297