Jumat, 25 September 2015

MAKALAH : Peran Pendidikan Teologi terhadap Budaya Perkawinan Masyarakat Ambon

Peran Pendidikan Teologi terhadap Budaya Perkawinan Masyarakat Ambon

Yohanes Arlindo Fahik


       I.            Pendahuluan

Manusia hidup dalam lingkup kebudayaan, sehingga secara tidak langsung kebudayaan berperan dalam hidup manusia. Setiap pribadi manusia (tingakah laku) mencerminkan kebudayaannya tersendiri, karena manusia dibentuk oleh kebudayaan. Kebudayaan adalah suatu ‘totalitas aktivitas’.[1] Kebudayaan berperan dalam kehidupan sehari-hari dan salah satu aktivitas manusia yang melibatkan kebudayaan adalah perkawinan. Oleh karena itu, perkawinan merupakan budaya masyarakat yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat dalam kebudayaannya. Setiap kebudayaan mengatur sistem perkawinannya masing-masing, semakin banyak kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat, sistem perkawinannya pun akan berbeda-beda, dan masing-masing memiliki aspek nilai yang harus ditaati dan dipelajari oleh masyarakat.
Dewasa ini, perubahan terjadi dalam kebudayaan masyarakat. Hal ini karena, sistem-sistem ‘religi’[2] yang dianut oleh masyarakat dalam kebudayaannya telah dipengaruhi oleh kehadiran ‘agama’[3] yang secara gamblang diajarkan kepada masyarakat. Untuk itu, agama juga telah berperan dalam kehidupan masyarakat dan turut mempengaruhi sistem kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Agama menjadi suatu realita hidup yang dianut sekaligus diterima dalam aktivitas masyarakat sehari-hari.
Pembicaraan mengenai agama, tidak terlepas dari bidang ilmu yang mempelajarinya dan salah satu bidang khusus yang mempelajari tentang ilmu agama adalah teologi. Teologi merupakan pengetahuan adikodrati yang metodis sitematis, dan koheren tentang apa yang diimani sebagai wahyu Allah.[4]  Kehadiran teologi di sini, untuk menjelaskan kepada masyarakat bagaimana agama itu dipelajari dan diterapkan untuk kehidupan, karena agama itu sendiri menyangkut segala sasuatu yang berkaitan dengan  iman akan Tuhan.                                  Namun, yang menjadi kekhawitiran sekaligus pertanyaan yang kadang-kadang muncul dari pikiran kita adalah bilamana masyarakat melibatkan agama dalam kehidupan mereka? Pentingkah agama berperan dalam hidup masyarakat? Lalu, apa pandangan agama (teologi) itu sendiri mengenai perkawinan? Dari pertanyaan tersebut penulis terdorong untuk menuliskan karya tulis ini dengan topik “Peran Pendidikan Teologi Terhadap Budaya Perkawinan Dalam Masyarakat Ambon”. Dalam tulisan ini, saya ingin mengemumkakan kepada pemabaca sejauh mana masyarakat Ambon melibatkan agama (pendidikan teologi) dalam kebudayaan mereka, terkhusus dalam budaya perkawinan. Tema dalam tulisan ini menarik untuk dibahas, karena penduduk  kepulauan Ambon semuanya adalah para pendatang yang berasal dari berbagai suku atau daerah yang sebagian besar mereka datang dari pulau ‘Seram’.[5]  Mereka yang berasal dari pulau Seram ini, kebanyakan datang dari Selatan bagian tengah dan Barat yaitu, daerah tiga buah aliran sungai Eti, Tala dan Sapalewa, sungai-sungai yang berhulu atau bersumber pada sebuah pohon bringin besar bernama Nunusaku.[6] Masyarakat yang menempati suatu daerah datang dari berbagai suku seperti ini, bagaimana bentuk kebudayaan mereka? Atas dasar argumen itulah saya mencoba menuliskan makalah ini.                                                                                         Pada awal tulisan, saya memulainya dengan pendahuluan yang berisi pengantar dari penulis dan juga sedikit pengantar mengenai situasi sosial-budaya masyarakat Ambon. Lalu  isi, saya sekedar ingin mengahantarkan para pembaca untuk mengetahui tentang peran pendidikan teologi dalam budaya perkawinan Ambon. Penulis ingin memperlihatkan pentingnya kehadiran agama dalam keanekaragaman suku yang disatukan menjadi budaya  tersebut. Selanjutnya bagian terakhir merupakan penutup yang berisi kesimpulan terhadap pembahasan dalam paper ini.

    II.            Latar Belakang Masyarakat Ambon
Sebagai masyarakat yang hidup, pasti memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda. Ambon adalah salah satu himpunan masyarakat yang memiliki keragaman kebudayaan, namun dipandang dari segi positif perbedaan bukanlah suatu agen yang menghantarkan masyarakat menuju perseteruan atau permusahan, melainkan dalam perbedaan itu, bisa dilihat kesamaannya untuk kemudian bisa disatukan menjadi satu kesatuan yang disebut sebagai kebudayaan. Dengan demikian, suatu budaya terbentuk karena adanya kesamaan yang ditemukan dalam masyarakat. Ambon adalah salah satu kepulauan yang ada di Maluku atau provinsi Maluku. Secara geografis pulau Ambon memiliki beberapa pulau kecil di sekitarnya. Paling Barat dan arah ke Timur  adapulau Haruku, pulau Sapurua dan yang paling Timur pulau Nasulaut. Oleh karena dikelilingi oleh pulau-pulau tersebut, pulau Ambon dikenal sebagai pulau terbesar di kepalauan Maluku, pulau Ambon memiliki luas 761 km2 sedangkan pulau-pulau lain luasnya kurang dari luas pualu Ambon yakni pulau Haruku 289 km2 dan pulau Saparua dan Nusalaut 202km2.[7]                                                                                                     Berdasarkan uraian di atas, walaupun masyarakat Ambon memiliki beberapa pulau yang mengelilinginya, namun sebagai makhluk sosial manusia hidup tidak dalam kesendirian. Setiap manusia hidup berkelompok (kolektif), sehingga dari kelompok-kelompok tersebut terbentuklah suku-suku atau clan-clan yang didasarkan pada keturunan maupun kesatuan wilayah tempat tinggal atapun kesamaan kelompok dalam keluarga. Secara kekeluargaan, masyarakat Ambon menganut sistem kekeluargaan menurut garis kebapaan atau Peternal atau patrilineal. Dalam sistem ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarga ditentukan oleh kerabat bapa.Pemberian marga kepada anak-anak (laki-laki dan perempuan) yang dilahirkan atau seketurunan, harus sesuai dengan marga yang dimiliki oleh bapa. Berkaitan dengan kerturunan, kehadiran anak laki-laki dalam keluarga patrilineal sangat disenangi dalam keluarga, dibanding anak perempuan, sebab anak laki-laki menjadi penentu kelanjutan keturunan atau generasi. Dengan demikaian, kehadiran anak laki-laki sangat didambakan, sedangkan anak perempuan untuk orang lain atau pelanjut keturunan pihak lain itu.[8]  Akan tetapi, ada bebarapa syarat yang harus ditanggung oleh pihak laki-laki, misalnya suatu ketika laki-laki (suami) tersebut didapati menyeleweng kawin dengan perempuan lain, maka pria tersebut harus membayar harta cerai kepada istrinya sebesar ‘harta’[9] semula. Hal ini karean, perbuatan suami tersebut secara langsung telah merugikan sanak saudara istrinya dan akan dituntut hingga pembayaran selesai.     Mengenai sistem religi yang terdapat dalam masyarakat Ambon bahwa, sebagian besar penduduk memeluk agama Kristen dan Islam. Agama lain seperti agama Hindu dan agama Budha, dianut di kalangan para penduduk yang berasal dari luar kota Ambon. Selain itu masih ada sebagian kecil masyarakat ambon yang tinggal di daerah pedalaman atau suku-suku terasing masih memeluk kepercayaan tradisional mereka, yaitu ‘Animisme’.[10] Namun hal tersebut tidak berpengaruh bagi sistem kepercayaan mereka. Di bidang perkawinan hal ini tanpak jelas bahwa upacara tradisional dan agama berjalan bersama-sama serta saling mengisi satu sama yang lain. Dengan demikian kepercayaan tradisional masyarakat Ambon hingga saat ini, masih tetap dipertahankan.  Ziwar Effendi mengatakan bahwa,
“Untuk kelompok yang masih berkepercayaan animisme adat memegang peranan utama. Di desa-desa  atau wilayah-wilayah yang beragama Islam perkawinan biasanya diikuti dengan upacara pembacaan doa atau doa dan dilanjutkan dengan pesta pora dan lain-lain. Sedangkan pengesahan perkawinan untuk yang beragama Kristen selain pengesahannya oleh pemerintah, pengukuhannya berlangsung di Gereja” [11]
Telah dijelaskan di bagian awal, bahwa dalam situasi seperti ini, pendidikan agama atau teologi masih sangat diperlukan untuk kehidupan mereka,  sebab, dari latar belakang suku yang berbeda ini, agama diperlukan untuk menyatukan sekaligus menjadi panutan. Hal ini karena, agama berkaitan  dengan iman kepada Tuhan, yang berarti mengundang Tuhan untuk hadir dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran Tuhan  di sini, bukan sebagai orang asing atau orang tamu yang dinomor duakan, melainkan kehadiran Tuhan dijadikan sebagai teladan atau panutan untuk membantu manusia menyelesaikan masalah kemanusiaan yang sering terjadi tersebut. Allah adalah pencipta satu-satunya dari manusia dan dunia, maka sebagai pencipta ia telah mengetahui apa yang diperlukan oleh manusia, oleh karena itu Allah selalu berada di tengah-dunia manusia. Dalam tatacara perkawinanpun Allah harus selalu hadir sebagai pemersatu dan pelindung rumah tangga keluarga, sehingga keluarga itu berjalan dengan damai dan sejahtera.                                                                        Berkaitan dengan adat  perkawinan, bahwa dalam masyarakat Ambon perkawinan dinilai sebagai urusan dari dua kelompok kekerabatan, yaitu matarumah dana family.[12] Kedua kelompok tersebutlah yang menentukan fungsi penyelenggaraan dari perkawinan itu. Perkawinan dapat terjadi apabila syarat mutlak dalam perkawinan telah dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan. Misalnya kemantangan biologis, kematangan jiwa, dan memahami arti perkawinan yang sesungguhnya berdasarkan ajaran agama dana adat. Di dalam masyarakat Ambon, apabila seorang gadis yang menginginkan untuk kawin, ia harus mampu memarut seratus butir buah kelapa dalam sehari untuk dimasak menjadi minyak.[13] Perkawinan dalam masyarakat Ambon sifatnya ‘exogami’, hal ini berdasarkan pada sistem kekeluargaan patrilinear, yang dimana pihak perempuan harus keluar dari kerabatnya dan bersatu dengan laki-laki. Mereka mengenal tiga macam cara perkawinan, yaitu kawin minta atau kawin pinang, kawin sumbah,  dan kawin lari.                     Kawin minta atau kawin pinang terjadi apabila seorang laki-laki yang ingin berumah tangga, (gadis dan pria sebelumnya sudah berpacaran), Orang tua dari pihak laki-laki mengirimkan utusan meminta kesediaan keluarga wanita untuk menerima kunjungan laki-laki pada hari yang ditentukan. Biasanya, setelah pihak wanita menyetujui kunjungan laki-laki, hari kunjungan laki-laiki tersebut ditentukan oleh pihak perempuan. Mengenai kawin sambah, jenis perkawinan ini menurut pandangan orang Ambon adalah kawin tipu muslihat, sebab bentuk perkawinan ini terjadi tanpa sepengetahuan ikatan keluarga laki-laki, dan pelakasanaan perkawinan ditanggung sepenuhnya oleh orang tua gadis.[14] Bentuk perkawinan seperti ini menurut saya, terjadi karena adanya kesalahan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan, dan kemungikinan masalah itu dirasa berat, lalu tidak ingin memperpanjang masalah, maka cara inilah yang mereka gunakan. Kemudian yang terjadi adalah mereka (pihak perempuan) tidak memberitahukan kepada pihak laki-laki, karena kemungkinan masalah tersebut akan diperpanjang dan menunut tanggungjawab yang lebih besar.                                                             Berkaitan dengan Kawin lari, sistem perkawinan ini dikatakan bahwa yang palinglazim terjadi.Mengapa? Hal ini disebabkan karena orang Ambon umumnya lebih suka menempuh jalan pendek, dengan maksud untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara.Jenis perkawinan inisebenarnya dipandang kurang baik dan kurang diinginkan oleh keluarga perempuan. Namun di lain pihak, perkawinan ini terjadi karena atas permintaan orangtua gadis dengan maksud supaya menyingkat waktu dan  mengurangi biaya yang harus dikeluarkan dalam kawin  pinang.[15] Persoalan mengenai masalah tidak senang atau senang dari pihak perempuan, mungkin dipertimbangkan dari situasi yang ada.
 III.      Perkawinan dalam Perspektif Pendidikan Teologi Kristiani
            Perkawinan merupakan hakikat dasar yang sudah ada dalam diri manusia sejak manusia diciptakan karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan (bdk. Kejadian 1____2). Kitab kejadian menjelaskan bahwa, wanita diciptakan untuk pria yang memerlukan seseorang untuk melengkapinya. Artinya, Wanita diciptakan supaya membentuk pasangan pria dan wanita sebagai citra Allah.                                                                     Ajaran resmi Gereja Katolik mengenai perkawinan mengambil dasar dari Kitab Suci. Oleh karean itu, dari ajaran Gereja yang didasarkan dalam kitab suci mengatakan bahwa, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan “menurut gambar-Nya”. Laki-laki dan perempuan ini kemudian diberkati Allah. Pemberkatan oleh ini, sebagai bukti yang sebetulnya mau menjelaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan yang “diberkati”  Allah, kiranya memberi kesan keduanya “dinikahkan” oleh Allah.[16]  Menurut saya, pemberkatan seorang laki-laki dan perempuan oleh Allah ini, memang dapat diartikan “pemberkatan nikah” karena mereka yang telah diberkti itu kemudian diberi tugas oleh Allah seperti: “bernak cuculah”,  dan “penuhilah bumi”  (bdk. Kej 1: 28). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hakikat perkawinan adalah persatuan seorang laki-laki dan perempuan,yang diberkati oleh Allah sendiri, dan diberi tugas bersama oleh-Nya untuk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia. Dengan pandangan Alkitab juga, St. Agustinus memandang perkawinan sebagai yang hal yang luhur dan baik, karena di dalamnya terdapat tiga hal kebaikan, yakni keturunan, kesetiaan, (tak terceraikannya perkawinan) dan rahmat                           sakramentalitas.[17]                                                                                                                         Dari pandangan St. Agustinus ini dilihat bahwa, perkawinan bukanlah sesuatu yang direndahkan oleh manusia bigitu saja, perkawinan harus dilihat sebagai sarana yang baik untuk mencapai kepada Allah. Allah menggunakan perkawinan untuk menyalurkan cinta-Nya kepada manusia melalui cinta kasih mereka dalam perkawinan tersebut.Oleh karena itu, hargailah kebaikan Allah itu, sebagai tanda terima kasih kepada-Nya. Perkawinan seharusnya  dilihat sebagai hadiah dari Tuhan, dimana perkawina telah diberkatai oleh Tuhan sendiri serta dianugerahi cinta kasih yang sifantnya adalah ilhai, karena dari yang Ilahai. Perlu diketahui bahwa perkawinan tidak mudah diperjuangkan.Selain St. Agustinus, para Bapa Gereja yang lain mencoba menegaskan tentang martabat perkawinan, dan sekaligus menegaskanajaran Yesus  mengenai keluhuran hidup tidak menikah demi kerajaan Allah. Mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, para Bapa Gereja menjelaskan kembali keluhuran perkawinan sebagai lambang cinta antara Kristus dam Gereja-nya. Hal ini tampak dalam ajaran Origenes  yang memandang perkawinan sebagai “ lambang” suami-istri mengambil bagian dalam hubungan antara cinta Kristus terhadap Gereja.
 IV.   Peran Pendidikan Teologi terhadap Budaya Perkawinan Masyarakat Ambon
        Dewasa ini, pendidikan teologi sangat diperlukan oleh masyarakat ‘awam’. Pendidikan yang baik dan benar menjadi harapan mereka saat ini.Peran pendidikan teologi dalam kehidupan masyarakat bukan hanya berperan di dalam bidang Agama, melainkan juga dalam bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti di bidang sosial.budaya dan lain-lain. Seperti halnya dalam masyarakat Ambon, pendidikan teologi sangat penting bagi kebudyaan mereka.Pendidikan teologi berperan sebagai mediator yang membawa masyarakat mengenal Allah, dan memasukan Allah kedalam hidup budaya mereka.sebab secara teologis, Allah sendirilah yang menderikan perkawinan dan menganugerahkan berbagai rahmat dan tujuan kepadanya. Dengan adanya teologi, masyarakat menyadari bahwa Allah yang hadir itu menghadirkan cinta kasih yang tulus dalam rumah tangga perkawinan mereka. Oleh karena itu, kepercayaan-kepercayaan tradisional yang masih dianut sampai sekarang, sedikit demi sedikit akan dipengaruhi oleh pengajaran teologi.
        Berdasarkan teori v. Peursen, bahwa setiap kebudayaan selalu berada dalam ketegangan an yang  antara sikap terbuka dan tertutup oleh manusia.[18] Maksudnya, manusia cendrung selalu ada dalam situasi di mana tidak menyadari hal-hal yang ada dalam dirinya maupun di luar dirinya, sehingga cendrung memutlakan apa yang seharusnya terjadi, dan mempertahankan apa yang sebetulnnya memeliki sifat yang sementara. Oleh karena itu, pendidikan teologi yang mengajarkan tentang iman akan Allah, hendak menjelaskan bahwa Allah berhadapan dengan manusia sebagai pencipta-Nya, dan pada kesadaran akan dosa yang telah menutupi mata, harusnya kembali terbuka untuk memandang lebih jauh ke arah yang lebih baik. Dari pemahaman teori v Peursen ini, kiranya teologi berperan sebagai pengungkap tabir ketertutupan manusia, dan pembuka
    V.       Penutup
            Perkawinan merupakan hak setiap laki-laki dan perempuan. Selain perkawinan sebagai budaya, perkawinan juga sebagai panggilan Tuhan untuk setiap orang. Oleh karena itu perkawinan harus dilindungi dan dijaga, karena sebagai panggilan Allah. Cara untuk menjaga perkawinan adalah, setiap orang harus mempelajari dan mengerti tentang budayanya dan yang paling prnting adalah ajaran agamanya. Setiap orang harus menyadari peran pendidikan agama (teologi) dalam kehidupanya, sehingga apapun yang dilakukannya memiliki nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.                                                                     Masyarakat Ambon, memandang perkawinan sebagai budaya, mereka juga mengahayati perkawinan sebagai pasangan yang diberkati Tuhan. Orang-orang Ambon memiliki jenis perkawinan yang berbeda-beda, namun semuanya diatur dalam adat, dan harus sesuai dengan aturan adat. Dalam situasi seperti itu mereka memerlukan peran agama (teologi) karena sebagai manusia, pasti ada kesalahan-kesalahan manusiawi yang terjadi. Allah dibutuhkan sebagai penopang dan penolong dalam menyelesaikan masalaha setiap hari. Mengahadirkan Allah dalam hidup berarti menghormati Allah sebagai yang terutama atau yang paling terhormat, karena secara tidak langsung berdasarkan pendidikan teologi, Tuhan telah hadir dalam hidup manusia sebelum manusia memanggilnya. Artinya, Tuhan yang sebagai pencipta, telah mengetahui semuanya tentang manusia, sehingga sebagai manusia harusnya menyadari kehadiran Tuhan sebagai tuan atas dirinya.





Daftar Pustaka
Daftar Sumber

A.Heuken. Ensiklopedi Gereja III. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 1993.            
Effendi, Ziwar. Hukum Adat Ambon-Lease. Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.  
Kleden, Paul Budi. Teologi Terlibat : Politik dan Budaya dalam Terang Teologi        Maumere : Ledelero, 2003.
Tobing, Nelly ed. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku. Jakarta : Balai Pustaka, 1977.

Daftar Acuan
Dister, Nico Syukur, Pengantar Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1990.
































`           [1]  Aktivitas menyangkut karya-karya seni yang pernah dihasilkan atau tarian yang peragakan untuk mengundang  kekaguman.sedangkan totalitas ini dapat dilihat dari tiga aspek dasar : aspek pengetahuan atau kognitif, aspek nilai atau etis dan aspek tindakan atau praktis. Dikutip dari Paul Budi Kleden, SVD, Teologi Terlibat : Politik dan Budaya dalam Terang Teologi , (Maumere : Ledelero, 2003) , 5.
[2]  Religi yang saya maksudkan adalah epercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat lokal dalam suatu kebudayaan.
[3] Agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan dan  peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa .  dikutip dari KBBI dan  Agama yang diangkat dalam tulisan ini adalah Agama Kristiani
[4]  Nico Syukur Dister. OFM, Pengantar Teologi. (Yogyakarta: Kanisius, 1990) , 17.
[5]  Seram adalah pulau terbesar di selatan provinsi Maluku. Menurut kepercayaan setempat, Seram adalah  Nusa Ina atau ibu pulau dimana semua orang Maluku Tengah datang dari pulau tersebut. Pulau ini bergunung dan mencakup 3027m Gunung Binaya, gunung tertinggi di semua Maluku. Hingga saat ini pulau Seram memeliki  daya tarik para turis asing untuk berkunjung ke sana,  karean di pantai utara terdapat desa Sawai yang indah dan memiliki tebing-tebing yang menjulang tinggi, dan pulau-pulau lepas pantai yang menarik. Dikutip dari (http://www.east-indonesia.info/regions/maluku-travel-information-seram.html) di akses pada tanggal 6 November 2014, Jam 11: 45)
[6]  Ziwar Effendi, S.H., Hukum Adat Ambon-Lease. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), 11.
[7] (Ziwar,Hukum Adat, 1)
[8] Nelly Tobing. ed. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Maluku ( Jakarta : Balai Pustaka, 1977), 153.
[9] Harta tersebut harus di bayar dalam jangka waktu tertentu pula. Tetapi pada waktu sekarang proses pembayaran, dapat ditunda asal saja dibayar. Sebab harta yang diberikan  bukan hanya  sebagai harta cerai, melainkan nilainya sebagai tanda cerai. (Nelly Tobing. ed. Adat, 59)
[10] Animismemerupakan  kepercayaan akan roh-roh nenek moyang yang telah meninggal dunia ataupun roh-roh yang diyakini memiliki kekuataan yang dapat membantu masyarakat. (Nelly Tobing. ed. Adat , 30-31)
[11] ( Ziwar, Hukum, 31)
[12] (Nelly, Adat, 65)
[13]( Nelly, Adat, 109)
[14] (Nelly, 1977, 109)
[15](Nelly, Adat, 66)
[16]  A Heuken, SJ, Ensiklopedi Gereja III  ( Jakarta: Yayasan Cipta Loka Karya, 1993),     373
[17] (Heuken, Ensiklopedi, 374)
[18](Paul Kleden, Teologi, 27)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar